Kamis, 04 Oktober 2012

Resensi Tentang Negara


ILMU NEGARA
Judul buku      : Azas-azas Ilmu Negara
Penulis             : M. Hutahuruk, S.H.
Penerbit           : Erlangga Jakarta
Tebal buku      : viii + 322 halaman
Tahun terbit     : 1983
            Manusia itu dengan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa dilahirkan, lalu dibesarkan dalam suatu organisasi (terkecil) yang bernama rumah tangga. Terdiri mula-mula atas dua orang yang bersumpah setia satu sama lain, di atas dasar cinta kasih, dikukuhkan menurut upacara dan hukum (hukum agama, hukum adat, hukum sipil), satu pria dan satu wanita. Mereka hidup di rumah tangga yang rukun, sampai dikaruniai anak. Kemudian si anak tersebut tumbuh besar lalu menikah atau dinikahkan. Dahulu pernikahan mutlak pilihan orang tua, tetapi di zaman sekarang si anak turut memilih dan menentukan siapa calon pasangan sehidup semati-nya.
 Di Indonesia pernikahan itu didasarkan pada ketentuan masyarakat, dapat bedasarkan suku, agama, ras kekeluargaan dan asas tolong menolong. Kerabat , sanak saudara dan orang-orang sekitar pun terlibat dalam peristiwa itu. Dan sering terjadi penggabungan suku atau ras, sehingga membentuk suku atau ras baru., diakibatkan pernikahan antar suku atau ras tersebut.
Kemudian organisasi lebih besar adalah kerabat, marga, rasa atau suku dan bangsa. Ada yang bedasarkan kesamaan genetic, kesamaan tempat tinggal (daerah atau wilayah), dan mungkin kombinasi keduanya. Organisasi-organisasi itu sejalan di bawah naungan oeganisasi yang lebih besar seperti kampong, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi kemudian negara.
Organisasi berikutnya adalah negara. Negara adalah suatu ikatan antar manusia dalam suatu wilayah yang mempunyai harapan, mimpi, tujuan, cita-cita, wilayah, keturunan dan pandangan yang sama. Bias didefinisikan, negara adalah suatu organisasi yang dihasilkan oleh manusia yang berkembang dengan seorang pemimpin yang mengatur kesejahteraan dan kemakmuran secara adil. Bagaimana negara bisa terbentuk? Apa saja teori yang terbentuk negara? Hal ini akan dijelaskan dalam buku karya M. Hutahuruk, S.H. , Azas-azas Ilmu Negara sebagai berikut.
Secara garis besar, buku ini mengungkapkan tentang suatu organisasi yang bernama negara. Kemudian, dijelaskan tentang negara dan tata hukum. dan perihal Demokrasi. Lalu di buku ini tidak hanya dijelaskan tentang definisi negara, akan tetapi akan dijelaskan tentang teori pembentukan negara, tujuan negara, bentuk negara, dll.
            Di bagian pertama, lahirnya organisasi bernama negara. Dalam sejarah manusia perubahan cara hidup dan pola pikir manusia membuat mereka menetap atau mengembara di suatu tempat. Pastilah tempat yang banyak menghasilkan pangan, sandang dan papan bagi mereka.  Kemudian saling berhubungan satu dengan yang lainnya, membentuk suatu organisasi. Maka organisasi tersebut semakin teratur dan semakin baik. Hal  itu banyak ditemui di tempat subur seperti lembah, di pinggir sungai, dan ada yang di hutan. Kemudian mereka membentuk pemimpin yang mampu memikul tugas-tugas, dan bisa dibebani tanggung jawab besar memimpin mereka. Lalu mereka mengadakan aturan-aturan tertentu, seperti hukum, penentuan pajak, irigasi untuk lahan mereka, lalu lintas, peradilan, pertahanan jikalau ada musuh-musuh menyerang mereka. Dengan demikian terbentuklah negara pertama, dimulai dari pertemuan beberapa orang, kemudian sampai membentuk organisasi puncak, negara.
           

Tetapi sering timbulnya perang antara negara kuat dan lemah, kaya dan miskin sehingga menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Namun ada juga yang mendapat kemajuan dalam bidang seperti agama, teknologi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan baru di negara yang kalah dalam peperangan.
            Banyak juga negara yang lahir dari hasil penggabungan dengan negara lain, baik dengan jalan damai maupun dengan jalan perang. Ada beberapa factor yang menguntungkan akibat penggabungan itu, seperti kesamaan asal usul, pola pikir,  pandangan hidup, kebudayaan, bahasa, keadaan alam, ancaman bahaya, dan sebagainya.
            Di bagian kedua menjelaskan tentang teori-teori asal negara dan kekuasaannya. Dalam peristiwa berbagai negara terbentuk, dapat diketahui beberapa teori terbentuknya negara seperti:
Ø  Teori Teokrasi
Teori ini beranggapan bahwa Tuhan Yang Maha Esa ( faham monotheis) atau dewa dewi (faham Polytheis) yang menciptakan alam semesta beserta isinya.
Jadi para pemimpin dahulu sering dikaitkan dengan turunan dewa dewi, umumnya di Indonesia sebelum Islam masuk, dan dipercayai oleh rakyat. Jadi bukanlah sembarang orang yang berkuasa. Dengan keluarga dan pengikutnya mereka merupakan kelas tertinggi yang mempunyai hak-hak luar biasa, siapapun tidak boleh membantah dan melawan “para turunan dewa-dewi” tersebut. Kekuasaannya seperti kekuasaan mutlak.
Ø  Teori Perjanjian
Teori ini pertama yang menyusun adalah Thomas Hobbes. Dikatakan bahwa manusia mulanya hidup dalam keadaan kacau dan masih sangat liar, dimana yang kuat yang menjadi raja. Kemudian, akan lahir dan tampil si kuat yang baru. Bertarunglah si raja dan si kuat baru, yang lemah kalah dan bias terbunuh. Pada saat itu pedomannya adalah siapa yang kuat akan menang (hukum rimba) dan struggle of the fittest.Antar manusia satu dengan yang lain seperti serigala yang siap memakan yang lemah (homo homini lupus). Banyak terjadi perang, tetapi pola pikir mereka berubah dan akal sehat kemudian berbicara untuk mengadakan perjanian. Untuk mengakhiri masalah hukum rimba, saling membunuh dan membentuk suatu ikatan bernama negara dengan penguasa berkuasa penuh. Lama kelamaan akan membentuk kekuasaan mutlak (absolute).
Teori ini juga dikemukakan oleh Jean Jacques Rousseau dalam karyanya bernama Contract Social. Manusia itu berdaulat penuh atas dirinya. Ia memiliki hak, kedaulatannya tidak lebih dan tidak kurang dengan yang lain. Dalam peristiwa itu, manusia tidak akan ada kemajuan. Kemudian ia menyerahkan kepada masing-masing masyarakat dan diteruskan ke pemerintahan. Tetapi penyerahan tersebut dengan suatu syarat, ia berhak turut berpatisipasi menyusun kemauan umum (peraturan), yang akan dijadikan kemauan (peraturan) negara.
Kemudian John Locke melahirkan teori perjanjian dengan membagi kekuasaannya. Ia yakin dan percaya bahwa pada awal hidup manusia sudah dikaruniai dengan akal, perasaan dan kemauan. Tetapi belum ada otoritas yang menjamin hak-hak manusia tersebut. Lalu terbentuklah otoritas tersebut oleh sekelompok manusia, maka lahirlah negara beserta pemerintahan. Yang menentukan dalam negara dan pemerintahan tersebut ialah suara mayoritas.
Locke kemudian berpendapat bahwa rakyat berhak mengubah (menjalankan revolusi) melampaui kekuasaannya dan hak-hak yang ia terima. Menurutnya pemerintahan dibagi menjadi 3, kekuasaan legeslatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif.
Montesqieu tak ingin kalah, dengan karyanya L’Esprit des Lois, terdapat teori trias politica, kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan judikatif. Baginya peradilan sama pentingnya dengan kekuasaan-kekuasaan lainya. Ia merasakan betapa mutlaknya perlunya kekuasaan itu membatasi dan mengawasi, supaya hidup manusia merdeka dan roda pemerintahan berputar menurut peraturan yang berlaku (undang-undang).
Ø  Teori kekuasaan
Banyak yang berpendapat sewajarnyalah yang memegang pimpinan negara. Warga lainnya harus tunduk karena mereka tidak ada kualitas untuk berkuasa. Banyak jenis kekuatan untuk berkuasa, seperti :
a.       Kekuatan fisik
Semua negara memiliki AB (Angkatan Bersenjata). Tampak jelas kekuatan dan kekuasaan AB. Di negara totaliter, AB hanya alat semata-mata bagi yang memimpin suatu kelompok atau partai untuk memaksakan kemauannya untuk membasmi musuh-musuhnya.
b.      Kekuatan ekonomi
Terkenal dengan nama plutokrasi, sering berjalan bersama kekuatan fisik.

c.       Kekuatan fisik
Partai politik dan ormas (organisasi massa) sering membuka pintu untuk menguasai pemerintahan. Ada kalanya bergandengan dengan kekuatan fisik dan ekonomi.
d.      Kekuatan sosial
Banyak kaum social sangat berpengaruh bagi negaranya semisal Iran dan Indonesia. Pemuda dan pelajar nyata-nyata memegang peranan penting dalam hidup bernegara.
Ø  Teori Kedaulatan Hukum
Sebagai lawan dari faham kekuasaan dan kedaulatan negara maka secara gemilang dikemukakan oleh Krabbe dalam karyanya yang berjudul Die Lehre Der Rechts souveranitat (teori kedaulatan hukum). Yang memerintah dan yang diperintah, yang kuat dan yang lemah, tanpa pandang bulu, tanpa kecuali sama-sama tunduk dan menaati hukum. Bukan kekuasaan politik yang menetapkan dan mengatur organisasi itu, melainkan rule the law (kekuasaan hukum).
            Dibagian ketiga tentang wilayah negara. Umumnya batas-batas wilayah negara ditetapkan oleh perjanjian internasional. Zaman dahulu penetapan batas wilayah masih tradisional dan alamiah, yaitu sungai, selat, danau, laut dan pegunungan. Ssemakin maju teknologi seharusnya harus ditetapkannya continent shelf  (dasar laut yang termasuk benua atau kontinen) dan deep seabed (dasar laut dalam di tengah samudera).
            Dalam batas vertical, batas itu unlimited (tiada terbatas). Seiring kemajuan teknologi pesawat kini dapat terbang melebihi kecepatan suara. Tetapi jika memasuki ruang udara negara lain tetap ada sanksinya., karena itu hukum internasional.
Batas-batas wilayah R.I. sama dengan batas-batas bekas daerah jajahan Belanda. Ada beberapa pendapat kenapa Indonesia masih miskin padahal banyak kekayaan baik di tanah, di air dan di daratan, seperti:
  1. Penjajahan
350 tahun kita dijajah bangsa Belanda, 3,5 tahun dijajah Jepang dan bangsa lain. Penjajahan itu membawa penderitaan, dan mengakibatkan orang Indonesia lumpuh secara mental, dikarenakan terkekang bangsa lain.
  1. Perang pasifik dan Perang kemerdekaan.
Keadaan terpuruk akibat dijajah bertambah parah akibat perang itu. Perang itu memang merusak dan menghancurkan.
  1. Kerusuhan-kerusuhan dan pemberontakan
Sejak 1950 sampai sekarang, timbul tenggelam kerusuhan dan pemberontakan di seluruh wilayah R.I, dan konfrontasi dengan Malaysia.
  1. Pengutamaan politik
  2. Kemerosotan ahlak dan korupsi
  3. Tidak ada modal, kurang keberanian, spirit dan skill untuk pembangunan
  4. Pertambahan penduduk
Di bagian keempat, menjelaskan tentang tujuan negara. Beraneka ragam tujuan negara itu, di buku ini di jelaskan ada empat klasifikasi yaitu:
ü  Tujuan yang dikemukakan oleh para sarjana
a.       Tujuan negara itu ialah negara itu sendiri. Menurut Hegel adalah person yang mempunyai kemampuan sendiri dalam mengejar pelaksanaan ide umum.
b.      Negara itu tiada lain daripada suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
c.       Menurut John Locke, dengan pembentukan political or civil society, maka manusia itu tidak melepaskan semua hak alamiah yang ada padanya.
d.      Tujuan negara tiada lain daripada memelihara dan menjamin hak-hak alamiah yang masih sisa, yaitu hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda sendiri.
e.       The greatest happiness of the greatest number (Jeremy Benthem and John Stuart Mill)
f.       The best, that is in themselves (Harold J. Laski)
ü  Tujuan yang dari dahulu kala sudah dikejar
a.       Keamanan dan ketentraman
b.      Pertahanan negara
c.       Pemerintahan
d.      Kehakiman
ü  Tujuan yang menonjol pada abad ke-20 ini
a.       Kesejahteraan rakyat
b.      Kemakmuran
ü  Tujuan negara totaliter/otoriter
a.       Tujuan negara itu adalah kekuasaan
b.      Selalu menggunakan tipu muslihat untuk mempertahankan diri.
Di bagian kelima, bentuk negara. Dibagi menjadi tiga, yaitu:
·        
PEMERINTAH DAERAH
 
PEMERINTAH DAERAH
 
PEMERINTAH DAERAH
 
PEMERINTAH PUSAT
 
Atas dasar kedaulatan
a.       Desentralisasi


·         Atas dasar pimpinan
a.       Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk republik menurut UUD 45 pasal 1 ayat (1).
·         Atas dasar sistem ekonomi
a.       Bahwasanya ekonomi itu bersatu padu dengan negara hal itu segera terbukti dari Pembukaan UUD 45 alinea 2.
“Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah disampaikanlah surat saat yag berbahagia dengan selamat kemerdekaan negara Indonesia, yng merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
                                                                    i.            Negara (dengan ekonomi) bersahaja
                                                                  ii.            Negara pertanian
                                                                iii.            Negara kapitalis perniagaan
                                                                iv.            Negara kapitalis perindustrian
                                                                  v.            Negara hochkapitalismus

Di bagian keenam, di jelaskan tentang tata hukum. Tiap organisasi ada peraturan dan tata tertibnya. Satu bagian daripadanya di dalam suatu organisasi bernama negara disebut tata hukum. Menurut Sulying dalam karyanya yang berjudul “Inleiding tot het Burgerlijk Recht” I yaitu semua peraturan yang dibuat atau yang diakui oleh pemerintah.
o   Sumber hukum ada beberapa, antara lain:
a.       Kebiasaan. Ini adalah salah satu sumber pertama dan tertua. Biasanya tidak tertulis, melainkan tetap dijalankan  dan dipertahankan dari generasi ke generasi.
b.      Agama. Dahulu agam memegang peranan paling penting dalam berkehidupan sehari-hari, dalam bekelakuan dan ucapan seseorang.
c.       Yurisprudensi. Sejak awal kaidah-kaidah hukum itu harus disadari, dipelajari, ditafsirkan dan dituangkan oleh petugas-petugas hukum ke dalam suatu vonnis untuk mengakhiri suatu peristiwa atau konflik hukum.
d.      Perundang-perundangan dalam arti seluas-seluasnya. Di negara-negara demokrasi perundang-perundangan itu adalah terutama pekerjaan badan legislatif dengan kerjasama dengan badan eksekutif.
e.       Perjanjian-perjanjian. Dalam pergaulan sehari-hari antar manusia maupun antar-negara, janji itu harus dipegang teguh dan dijalankan (pacta sunt servanda).
f.       Ajaran para sarjana hukum. Mereka itu bekerja di bidang Ilmu Hukum, mengadakan penyelidikan dan perbandingan hukum, mempelajari keadaan masyarakat, lalu berusaha memberikan arah pada perkembangan hidup seluruh organisasi itu.
Semua orang mengakui adanya hukum itu (sekalipun belum tentu dituruti dan dijalankannya). Ada:
a.       Madzab hukum alam. Dahulu sudah ada pendirian bahwa alam semesta mengandung dan manusia sebagai makhluk yang berpikiran, perasaan dan kemauan, mempunyai sejumlah kaidah-kaidah ideal (das Sollen) yang dipakainya buat menilai kaidah-kaidah yang berlaku (das Sein) dan jika mungkin mengubahnya sehingga seakin memenuhi cita-cita keadilan.
b.      Madzab analitis. Dikemukakan, bahwa hukum itu diperintahkan oleh si pemegang kuasa dalam negara dan dapat dipaksakannya. Jadi ada segi statis dalam pandangan madzab ini, yaitu hidup bathin manusia itu bebas kecuali di negara-negara totaliter, dimana si dictator berusaha menerobos sampai ke dalam dan menguasai hidup bathin itu.
c.       Madzab sejarah (historis). Ditandaskan, bahwa hukum itu lahir dan berkembang di tengah-tengah dan di dalam sesuatu bangsa. Jelas sekali ditekankannya segi progresif dinamisnya hukum itu.
d.      Madzab sosiologis. Hukum itu adalah ukuran umum dalam menilai sikap dan tindak tanduk manusia tanpa pandang bulu.
Madzab-madzab itu isi-mengisi, jadi tidak perlu di pertentangkan.
           



Dibagian keenam, kekuasaan dan tugas-tugas dalam negara dan pemerintahan.
   UUD 45 melukiskan dan membagi kekuasaan dan tugas-tugas dalam negara dan pemerintahan itu luas:
a.       Melakukan kedaulatan rakyat dengan menetapkan undang-undang dasar, mengadakan perubahan-perubahannya dan garis-garis besar daripada haluan negara.
b.      Memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
c.       Memegang kekuasaan melakukan pemerintahan menurut undang-undang dasar.
d.      Menjamin hak-hak azasi manusia.
e.       Mempertahankan negara.
f.       Mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional.
g.      Memajukan kebudayaan nasional Indonesia.
h.      Menyusun dan melaksanakan demokrasi ekonomi.
i.        Melakukan kekuasaan kehakiman.
HAL MPR
Badan inilah lembaga tertinggi dalam RI. Anggotanya terdiri atas dua kali semua anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan.


HAL UUD
Tiap negara pada waktu ini mempunyai UUD. Apabila dikumpulkan semua piagam yang mengandung hak-hak warganegara Inggris, kedudukan dan hak-hak parlemen serta kewajiban raja, mulai dari Magna Charta tahun 1215, maka akan di peroleh hal yang serupa dengan UUD. Kalau ditelaah dan diselami lahirnya UUD itu, maka jelas sekali ada padanya sifat perjanjian hitam di atas putih.
Kekuasaan :
A.    Memegang kekuasaan melakukan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.
B.     Menjamin hak-hak azasi manusia.
C.     Mempertahankan Negara.
D.    Mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional.
E.     Memajukan kebudayaan nasional.
F.      Usaha-usaha untuk mencapai kesejahteraan social.
Sistematika buku ini agak kurang menarik, dikarenakan pola penyusunannya monoton, dan bahasanya kurang menarik tetapi dalam segi isi buku ini mempunyai banyak keunggulan diantara lain, buku ini penjelasannya cukup baik, karena buku ini dilengkapi dengan alur penjelasan, dari tahap sederhana sampai tahap selanjutnya. Meskipun buku ini jarang terlihat gambar untuk penjelasan lebih detail, tetapi dengan kita membaca buku Azas-Azas Ilmu Negara itu, kita dapat memahami apa materi yang diuraikan, dan sangat baik bila dijadikan referensi dalam menulis karya.
Terakhir, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa lampiran tentang undang-undang, skema susunan kekuasaan RI, tokoh beserta karyanya dan daftar singkatan-singkatan di buku yang sekiranya pembaca belum mengerti.
Dari banyak buku tentang negara, buku Azas-azas Ilmu Negara karya M. Hutahuruk, S.H. patut dibaca semua umur, dan dapat menjadi salah satu pedoman ataupun referensi dalam suatu karya. Dengan membaca buku ini kita akan mendapatkan  pengetahuan dan wawasan yang luas tentang kenegaraan, dan membuat kita semakin mengetahui seluk beluk negara dan sistemnya.

Mahmud Al Rosyid
        (sumber : Azas-azas Ilmu Negara karya M. Hutahuruk, S.H)

copy = share (www.adaajame.blogspot.com)

RELASI NEGARA DAN AGAMA (complete)


C. RELASI NEGARA DAN AGAMA          
Pada dasarnya, peran dan fungsi agama sangatlah ditentukan oleh para penganutnya. Pemahaman dan penyikapan para penganut terhadap agama sangat mempengaruhi perjalan dan dinamika agama dalam pergumulannya dengan perkembangan suatu negara. Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep atau paham yang berkembang dianut oleh kebanyakan negara. Paham-paham tersebut adalah:

1. Hubungan agama dan Negara menurut paham  teokrasi
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan segala kata kehidupan dalam masyarakat bangsa, Negara di lakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan Negara menurut paham sekuler
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dan Negara menurut paham komunis
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat Negara. Sedangkan agama dipandang sebagai candu masyarakat, dan manusia itu ditentukan oleh dirinya sendiri.
Sebagai agama (din) dan Negara (dawlah), agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Beberapa pradigma yang menjelaskan hubungan antara agama dan Negara:
1. Paradigm integralistik
Agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga.
2. Paradigm simbiotik
Antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling mebutuhkan oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigm ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum agama (syari’at).
3. Paradigm sekularistik
Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda antara satu sama lain memiliki dan satu sama lain memiliki garapan bindangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini. Maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul bersal dari kesepakatan manusia.



NEGARA DAN AGAMA

A. AGAMA
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi” yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Beberapa pendapat mengenai pengertian dari Agama dalam berbagai bahasa, antara lain:
1. Dalam bahasa Sansekerta
1. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti "tradisi".
2. Dalam bahasa Sansekerta artinya tidak bergerak (Arthut Mac Donnell).
3. Agama itu kata bahasa Sansekerta (yaitu bahasa agama Brahma pertama yang berkitab Veda) ialah peraturan menurut konsep Veda (Dr. Muhammad Ghalib).
2. Dalam bahasa Latin
1. Agama itu hubungan antara manusia dengan manusia super (Servius)
2. Agama itu pengakuan dan pemuliaan kepada Tuhan (J. Kramers Jz)
3. Dalam bahasa Eropa
1. Agama itu sesuatu yang tidak dapat dicapai hanya dengan tenaga akal dan pendidikan saja (Mc. Muller dan Herbert Spencer).
2. Agama itu kepercayaan kepada adanya kekuasan mengatur yang bersifat luar biasa, yang pencipta dan pengendali dunia, serta yang telah memberikan kodrat ruhani kepada manusia yang berkelanjutan sampai sesudah manusia mati (A.S. Hornby, E.V Gatenby dan Wakefield)
4. Dalam bahasa Indonesia
1. Agama itu hubungan manusia Yang Maha Suci yang dinyatakan dalam bentuk suci pula dan sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu (Drs. Sidi Gazalba).
2. Agama adalah sistem atau prinsip kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan tersebut.

Dalam konsepsi islam dengan mengacu pada al-Qur’an dan sunnah rasul, tidak di temukan rumusan tentang Negara secara eksplisit, hanya saja di dalam asal mula hukum islam tersebut terdapat prinsip-prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu konsep islam tentang negara juga berasal dari tiga paradigma, yaitu:
a. paradigma tentang teori khilafah yang mempraktekkan segala sesuatu yang bersumber dari rasulullah, terutama biasanya merujuk pada masa khulafa al rasyidin
b. paradigma yang bersumber pada teori imamah (dalam artian politik) dalam paham islam syi’ah.
c. Paradigma yang sumbernya dari teori imamah atau pemerintahan.
Dari beberapa pendapat tentang beberapa definisi atau arti yang sudah saya paparkan tersebut, dapat di pahami secara sederhana bahwa apa yang di maksud dengan negara adalah statu daerah teritorial yang rakyatnya di perintah (governed) oleh sejumlah pejabat yang berhak menuntut dari warganegaranya untuk taat pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (kontrol) monopolostis dari kekuasaan yang sah.
Menurut pengamatan yang saya amati setelah membaca beberapa buku diantaranya di dalam karangan “tim ICC UIN Jakarta” yang berjudul “demokrasi hak asasi manusia dam ,masyarakat hak madani” saya sekurang-kurangnya mengerti dan memahami bahwa negara dan agama merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan yang berkelanjutan di kalangan para ahli. Hal ini di sebabkan oleh perbedaan pandangan dalam menerjemahkan agama sebagai bagian dari Negara atau Negara merupakan bagian dari pokok ajaran agama yang harus di terima dan di yakini kebenarannya.

Pada hakikatnya, Negara sendiri secara umum di artikan sebagai suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan mahluk social. Oleh karena itu, sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar Negara pula, sehingga Negara sebagai penjelmaan kodrat manusia secara horizontal dalam hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Azyumardi dalam buku, karangan “tim ICC UIN Jakarta”. perdebatan ini sudah terjadi sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga sekarang, menurut dirinya perdebatan ini di mulai dari hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara keduanya dengan konsep dan culture politik masyarakat Muslim.

Perdebatan Islam (masyarakat muslim) dan negara di awali dari pandangan dominan Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang mengatur dan menyeimbangakan semua kehidupan manusia, termasuk persoalan politik. Dari pandangan Islam sendiri sebagai agama yang komprehensif (mengandung pengertian yang luas dan menyeluruh) ini pada dasarnya dalam Islam tidak terdapat konsep pemisahan antara agama dan politik (dawlah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad SAW. di Madinah. Di kota ini, Nabi mempunyai dua posisi atau bisa juga dikatakan bahwa nabi berperan ganda dalam masalah ini yaitu sebagai seorang yang memimpin agama islam, sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerintahan awal Islam yang oleh kebanyakan pakar dinilai sangat modern si massanya. Posisi ganda ini di sikapi oleh kebanyakan kalangan yang ahli. Karena secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada “apakah Islam identik dengan negara atau sebaliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang tegas tentang bentuk negara”

Menyikapi realitas tersebut, ibnu Taimiyah mengatakan bahwa posisi Nabi pada saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (Al-kitab) bukan sebagai penguasa atau presiden (bila di indonesia atau di amerika), kalaupun ada pemerintahan, itu hanya sebuah alat atau media untuk menyampaikan agama dan kekuasaan atau pemerintahan itu bukan agama itu sendiri. dengan kata lain politik atau negara dalam Islam hanyalah sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam. pendapat ibnu Taimiyah ini bersumber pada al-Qur'an (QS.. 57:25)


yang artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.

Bersumber pada ayat ini ibnu taimiyah menyimpulkan bahwa Agama yang benar wajib memiliki buku petunjuk (Al-Qur’an) dan pedang penolong (sunnah rasul). Hal ini di maksudkan bahwa kekuasaan politik yang di simbulkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi Agama, tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri, sedangkan polotik tidak lain sebatas alat unrtuk mencapai tujuan-tujuan luhur Agama.

Ahmad syafi’I maarif menjelaskan bahwa istilah dawlah yang berarti agama tidak di jumpai dalam Al-Qur’an. Memang uistilah dawlah ada pada surat Al-Hasyir ayat 7, akan tetapi makna dari dawlah tersebut bukanlah Negara, melainkan di pakai secara figurative (hanya sebagai gambaran) untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan (jabatan).

Pandangan sejenis juga pernah di kemukakan oleh beberapa modernis mesir, antara lain Ali Abdul Raziq dan Muhammad husain haikal. Menurut haikal prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang di berikan oleh Al-Qur’an dan As-sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan ketatanegaraan. Atau lebih lanjutnya dirinya mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat suatu system pemeritahan yang baku. Umat islam bebas menganut system pemerintahan apapun asalkan system tersebut menjamin persamaan antara warga negaranya baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan hukum, dan pelaksaan urusan Negara di selenggarakan atas dasar musyawarah dengan berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang di ajarkan Islam.

Dalam lintasan sejarah dan opini para teoritis polotik islam, di temukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan Agama dan Negara. yaitu dapat di rangkum ke dalam 3 paradigma antara lain:
1. PARADIGMA INTEGRALISTIK

Paradigma ini merupakan paham dan konsep hubungan Agama dan Negara yang menganggap bahwa Agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu. Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama-Negara, yang berarti bahwa kehidupan Kenegaraan di atur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma integralistik di kenal juga dengan paham islami din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah hukum Agama. Paham ini biasanya di gunakan atau di anut oleh kelompok islam syi’ah. Hanya saja nama dawlah di ganti dengan nama imamah. Paham ini Juga di anut oleh Negara kerajaan Saudi Arabia.

Dalam pergulatan islam dan dunia moderent, pola integrative ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama dan Negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan di atur dengan menggunakan hokum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma intedralistik identik dengan paham islam ad-din wa daulah (islam sebagai agama dan negar, yang hokum positifnya bersumber adalah hokum islam (syari’at-syari’at yang ada dalam islam).

2. PARADIGMA SIMBOTIK

Menurut konsep ini, hubungan Agama dan Negara di pahami saling membutuhkan dan bersifat timbale; balik. Agama membutuhkan Negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangakan Agama. Begitu juga Negara, Negara memerlukan Agama karena agama membantu dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualisme warga negaranya.

Ibnu taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak (Taimiyah, al-syiasah al-syari’iyyah: 162). Pendapat tersebut meligitimasi bahwa antara agama dan Negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya berasal dari adanya kontras social (social contract), tetapi bisa di warnai oleh hokum agama (syari’at). Dengan kata lain agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan Negara mesir dan Indonesia dapat di golongkan kepada kelompok paradigma ini.

3. PARADIGMA SEKULARISTIK

Paragidma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan Negara. Jadi keberadaannya harus di pisahkan karena mempunyai bidang masing-masing dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasarkan pemahaman ini, maka hukum positif tyang berlaku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama.

Ali abdul raziq menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak di temukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya menyampaikan risalah kepada manusia dan mendakwakan ajaran agama kepada manusia.





B. HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA MODERN
Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat dikalsifikasikan ke dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik dan sekularistik.
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hamper sama persis dengan pandangan Negara teokrasi Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan Negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (Integrated). Faham ini juga memberikan penegasan bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau Negara (dawlah)

2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama den Negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbale balik (simbiosis mutualita). Dalam konteks ini, agama membutuhkan Negara sebagi instrument dalam melestarikan dan mengemabangkan agama. Begitu juga sebaliknya, Negara mememerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika, dan spritualitas warga negaranya.

3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisah ynag jelas antara agama dan Negara. Agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu warga Negara.

C. HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
Realitas yang terjadi pada Negara-negara Islam atau Negara yang berpenduduk mayoritas muslim adalah kesulitab dalam upaya menciptakan titik temu antara Islam dan Negara. Berikut adalah contoh beberapa Negara Islam atau Negara yang berpenduduk mayoritas muslim dalam menerjemahkan hubungan agama dan Negara.
1. Arab Saudi
Hubungan agama dan Negara di Arab Saudi dapat dikatakan hubungan yang integralistik karena menjadikan Islam sebagai agama resmi Negara sekaligus sebagai sistem politik, hukum, ekonomi, dan budaya. Negara ini menyakinkan Islam sebagai agama yang memiliki sistem politik, hukum, ekonomi, sekaligus budaya yang menjadi kewajiban untuk menerapkannya. Sesungguhnya pemahaman keagamaan dengan model yang diterapkan oleh Arab Saudi ini tidak dapat dilepaskan dari paham wahabiyah di wilayah ini.

2. Pakistan
Menurut Undang-Undang Dasar Negara ini pada pasal 198 tahun 1959 memerintahkan untuk pembentukan dua lembaga. Dewan penasihat tentang ideologi Islam dan Lembaga Penelitian Islam. tugas lembaga yang pertama Dewan penasihat tentang ideologi Islam adalah:
a. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai cara-cara mendorong umat Islam untuk dapat mengikuti pola hidup yang sesuai dengan ajaran Islam.
b. Memberikan nasihat kepada pemerintah apakah suatu rancangan undang-undang bertentangan dengan Islam atau tidak.

Sebagaimana umumnya Negara yang berbentuk republik, pimpinan eksekutif tertinggi dijabat oleh presiden yang dipilih berdasarkan partai politik. Dewan perwakilamn rakyat juga dipilih melalui pemilu yang diadakan secara periodic yang diikuti oleh banyak partai politik. Islam adalah agama mayoritas di negeri yang sekarang dipimpin oleh Jendral Musharraf ini, sekaligus sebagai agama Negara.

3. Iran
Iran adalah sebuah Negara yang berusaha menjadi agama sebagai faktor yang yang integral dalam sebuah Negara. Agama diyakini memiliki konsep dan sistem bernegara. Meskipun demikian, Iran adalah contoh sebuah upaya penggabungan unsur-unsur teoraksi yang berbasis pada agama (Syiah) di satu sisi dan unsur-unsur republik. Meskipun upaya pencampuran itu tidak selamanya berlangsung damai dan normal, Iran dapat menjadi prototipe dari hubungan agama dan Negara dalam bentuknya yang paling efektif. Meskipun foramalisasi dan simbolisasi agamaterjadi hampir di seluruh bentuknya, Iran memberikan jaminan konstitusional terhadap minoritas (Majusi, Yahudi, dan Kristen) untuk menjalankan ritus-ritus keagamaan mereka dan menangani perkara pribadi dan pendidikan mereka menurut kepercayaan masing-masing. Selain itu, Iran juga memberikan ruang yang relatif terbuka pers dan masyarakat untuk berekspresi.

4. Malaysia
Berbeda dengan beberapa sistem politik di Timur Tengah yang tidak mengizinkan partai-partai Islam dan beberapa gerakan Islam kemudian melakukan perlawanan dengan tindak kekerasan, dalam sistem Malaysia terdapat sebuah partai penguasa yang dominan yang mengakui keberadaan dan partisipasi politik dari kelompok-kelompok Islam yang berperan sebagai pihak oposisi nonsektarian.
Hubungan antara agama (Islam) dan Negara dengan watak yang lebih kompromistis –harmonis secara baik ditunjukan oleh Malaysia. Islam menjadi agama resmi dengan menjadikan hokum Islam sebagai salah satu sumber hokum positif yang berlaku di Malaysia.

D. HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI EROPA DAN AMERIKA
Negara-Negara di Eropa menerapkan secara ketat apa yang disebut dengan sekularisasi, yakni pemisahan secara tegas antara peran agama dan politik. Pratek dan kewenangan politik sepenuhnya siserahkan kepada Negara, sedang menjalankan agama memiliki wewenang hanya untuk mengurus Gereja. Sejak awal di Amerika sudah menerapkan prinsip sekularisasi atau pemisahan antara otoritas agama dan politik. Namun demikian, meskipun Amerika adalah Negara sekuler atau konstituasinya sekuler namun bukan berarti agama tidak memiliki peran. Agama tetap menajdi faktor dalam banyak kehidupan bernegara.

E. ISLAM DAN NEGARA ORDE BARU
Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini , bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama Negara (pada 1945 dan decade 1950-an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik “minoritas” atau “out-sider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam, menurut Bahtiar Effendy, sering dicurigai oleh Negara sebagai anti ideologi Pancasila.
Islam sebagai symbol politik dikalangan aktivis muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah melahirkan kecurigaan dari pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari arena politik nasional. Peristiwa kekerasan Negara atas kelompok Islam di era 1980-an yang dianggap penentang Asas Tunggal Pancasila ciptaan Orde Baru.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam dan rezim Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Menurut Effendi, kebijakan-kebijakan politik Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan politik memiliki dampak luas bagi perkemgangan politik Islam selanjutnya baik strukturl maupun cultural. Menurut Affan Gaffar-ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan keagamaan serta kondisi dan kecendrungan akomodasionis umat Islam sendiri. Pemerintahan mulai menyadari akan potensi umat Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Sedangkan menurut Thaba, sikap akomodatif Negara terhadap kebijakan Negara, terutama dalam konteks pemberlakuan dan penerimaan asas tunggal Pancasila.

F. ISLAM DAN NEGARA
Peran agama, khususnya Islam, di Indonesia sangat strategis bagi proses transformasi demokrasi. Pada ssat yang sama Islam dapat berperan mencegah ancaman disintegrasi bangsa sepanjang pemeluknya mampu bersikap inklusif dan toleranterhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Negara memiliki potensi sebagai penompang proses demokrasi yang telah menjelma sebagai tuntutan global dewasa ini. Negara pun berpotensi menjadi ancaman bagi proses demokrasi jika iatampil sebagai kekuatan realatif dan mendominasi berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara

Hubungan Islam dengan Indonesia
Pendahuluan
Membicarakan masalah hubungan agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita tahu agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya . Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Sebaliknya, Negara (baca: pemerintah) sangat menentukan terhadap perkembangan suatu agama di wilayahnya. Kebijakan-kebijakan terhadap hal yang berbau keagamaan sangat mempengaruhi terhadap terciptanya masyarakat madani (civil society) seperti yang menjadi cita-cita kedua belah pihak. Bila kebijakan Negara cenderung berpihak kepada salah satu agama tertentu, tak ayal jika Negara atau keadaan Negara tidak akan kondusif, timbul konflik yang mengarah ke unsur SARA.
Norma-norma agama dipandang sebagai hukum yang efektif untuk membentuk tatanan masyarakat yang beradab karena keberadaan agama bagi setiap individu sangat vital. Hal ini dikarenakan agama mengajarkan atau menghubungkan makhluk dengankholiknya. Selain itu dalam agama terdapat berita gembira, ancaman, janji dan sebagainya yang ditujukan pada pemeluknya. Hal inilah sebetulnya yang diinginkan setiap Negara terhadap keadaan masyarakat yakni masyarakat yang berketuhanan atau boleh dikatakan sebagai manusia yang “pancasilais”.
Hubungan antara Islam dan politik selalu menarik untuk dikaji. Hal ini karena dua alasan: pertama, sejak kelahirannya, Islam memiliki dua aspek yang selalu kait-mengkait, yakni agama dan masyarakat. Kedua, percobaan mengatur masyarakat berdasarkan Islam, di tempat dan waktu, telah sering terjadi dan mengalami pasang surut. Dari sekian percobaan dapat disimpulkan bahwa kesemuanya dalam taraf coba-coa dan belum ada yang sepenuhnya berhasil, termasuk di Indonesia.
Poin kedua dari alasan tersebut yang sering menimbulkan sikap arogan dari pemerintah. Sebetulnya sikap preventif terhadap usaha penerapan syariat sebagai landasan hukum tidak hanya pemerintah melainkan juga dari sikap pemeluk agama. Inilah yang kami sebut hubungan agama dan Negara unik dan aneh. Ternyata masyarakat kita tidak setuju jika masalah agama di bawa ke wilayah Negara. Bagii mereka, agama adalah urusan pribadi antara dia dengan DIA. Atau mereka ingin menjaga bubungan suci dan sarral ini, tidak dicampuri urusan duna yang kotor. Apaka sikap mereka bisa digolongkan liberal? Jawabannya, bisa tetapi dengan catatan kita harus menilai “liberal” dari kacamata budaya bangsa Indonesia.
Menurut Masdar F. Mas’udi, hubungan agama dan Indonesia akan masih menjadi masalah. Menurutnya ada anggapan umum bahwa seseorang tidak mungkin menjadi muslim yang baik sekaligus menjadi warga Negara Indonesia yang baik. Untuk menjadi warga apalagi pemuka bangsa yang sejati seorang muslim mesti terlebih dahulu melampui (mengaburkan) batas-batas keIslamannya. Sulit rasanya seorang pemimpin umat dari agama mayoritas seperti Islam di Indonesia dapat tampil secara mulus sebagai pemimpin.
Pernyataan yang disampaikan beliau memang bukan tanpa alasan. Kalau kita menilik sejarah ke belakang baik pemimpin pasca proklamasi maupun orde baru, semua pemimpin bangsa ini tidak begitu kental keIslamannya. Sebagai paradigma politik memimpin bangsa ini justru lebih suka mengadopsi pemikiran (nilai-nilai) budaya.
Bahkan di era orde baru sikap preventif terhadap ormas atau organisasi agama begitu getol. Pemerintah berusaha mengkerdili umat Islam yang ingin memperjuangkan ajarannya lewat jalur sturktural. Sejumlah fakta menunjukkan hal tersebut, misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai partai resmi Islam selalu dibuat kerdil dengan berbagai cara, kegiatan-kegiatan semi kekerasan dibabat habis tanpa ampun, misalnya kasus Tanjung Priok, Lampung dan lain-lain. Semua hal itu dilakukan orde baru terhadap umat Islam karena orde baru sangat trauma dengan masa lalu di mana politik Islam sangat potensial untuk menggalang massa dan berbalik menyerang pemerintah sekaligus menjadi oposisi abadi kepada siapapun yang tengah berkuasa.
Setelah masa reformasi datang yang ditandai dengan tumbangnya rezim Soeharto pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan digantikan wakil presiden BJ Habibe. Era reformasi disebut-sebut sebagai masa cerah bagi kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi, katanya, benar-benar tegak, keberadaaan pers, organisasi politik, ormas tidak lagi dibungkam dan dikerdilkan. Semua wahana ekspresi diberikan kebebasan sepenuhnya.
Melihat adanya peluang yang terbuka orma-ormas Islam menggunakan kesempatan yang baik untuk memperjuangkan syari’at Islam lewat jalur struktural yang selama orde baru terkekang. Usaha-usaha mereka bisa dilihat bagaimana banyaknya ormas-ormas Islam yang bermunculan seperti Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin maupun parpol-parpol yang mengusung/ menggunakan simbol Islam. Selain perjuangan melalui ormas dan parpol, jalur lain yang ditempuh adalah melalui penerapan hukum-hukum Islam melalui celah-celah otonomi daerah.
Hubungan Islam dan Negara pada Era Reformasi
Reformasi yang terjadi pada pertengahan tahun 1998 menyebabkan perubahan drastic dalam bernagai aspek kehidupan politik, ekonomi, pemerintahan. Perubahan drastis yang menonjol dibidang politik pasca orde baru antara lain: hilangnya kekuasaan represif dan bubarnya sistem bureaucratic polity pemerintah dipegang segelintir orang berubah menjadi pemerintah yang dipegang oleh perwakilan rakyat secara riil.
Perubahan birokrasi ternyata berdampak terhadap kebijakan-kebijakan terhadap semua aspek kehidupan bernegara termasuk kebijakan bersuara dan mengeluarkan pendapat. Di saat orde baru berkuasa, kebebasan bersuara dan mengeluarkan pendapat hanya sebatas retorika belaka. Bahkan pemerintah orde baru cenderung berperilaku sebagai rezim praetorian yang memiliki banyak kontrol yang mengawasi kehidupan masyarakat. Mulai dari usaha bina Negara hingga persoalan personal semacam keluarga berencana.
Karena begitu ketatnya kontrol Negara sehingga berubah menjadi “bom waktu” yang terbukti saat reformasi. kontrol tersebut melahirkan “dendam kesumat” bagi anak bangsa yang merasa terkekang sehingga pasca reformasi banyak bermunculan organisasi-organisasi massa (baik politik maupun kemasyarakatan) maupun lembaga press. Bahkan kata reformasi berubah menjadi “senjata” untuk melegalkan perbuatan individual maupun komunal.
Perubahan tersebut dimanfaatkan oleh umat Islam untuk memperjuangkan ajaran agamanya agar setidaknya menjadi sumber hukum formal dalam kehidupan bernegara. Perjuangan ini lebih dikenal dengan perjuangan jalur strukturalis, yang mana di era orde baru pintu ini tertutup rapat dan pemerintah hanya membuka pintu kulturalis. Pernyataan selanjutnya adalah mengapa umat Islam begitu ambisius untuk memasukkan syariat ke dalam hukum Negara ini?
Dari sudut kuantitas, umat Islam merupakan mayoritas sehingga sudah sewajarnya jika pemerintah selalu memperhatikan kepentingan umat Islam dan mengakomodasikan sebanyak mungkin aspirasi Islam. Dengan kata lain, pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan programnya harus lebih memihak kepada Islam. Persoalan yang timbul adalah bagaimana dengan nasib umat minoritas? Keadaan mereka sebenarnya dalam posisi tidak aman. Mereka belum sepenuhnya percaya pada iktikad baik kelompok mayoritas yang berjanji akan melindungi eksistensi mereka.
Selain dilihat dari sudut kuantitas umat, bisa juga dilihat sumber inspirasi umat Islam itu sendiri yakni Al-Quran dan As-Sunah. Agama Islam tidal pernah membedakan persoalan individu dengan persolan masyarakat, urusan dunia yang profan dan urusan akhirat yang trasendetal.
Dunia dan akhirat adalah dunia yang saling menjalin, seperti yang tersirat dalam ajaran Islam bahwa “dunia adalah ladangnya akhirat”. Karena dunia dipandang sebagai “ladang” sudah barang tentu keberadaan “ladang” tersebut harus dikelola sesuai dengan tata krama-Nya. Agar kelak memberikan bekal yang baik di alam transenden. Kensekuensinya seluruh aktivitas orang Islam, baik kelompok maunpun individu harus “manut” dengan aturan tersebut. Dalam bermasyarakat atau berkelompok selalu memiliki tujuan-tujuan agama dan sekaligus mengabdi pada lestarinya nilai-nilai agama. Lebih jauh maka seluruh aktivitas muslim selalu diupayakan selaras dengan nilai-nilai yang ada dalam sumber pokok Islam, Al-Quran dan As-Sunah.
Semuanya itu perlu pengimplementasian dalam kehidupan kalau perlu diwujudkan dalam bentuk Negara, mengapa harus negara? Karena Negara mempunyai kekuasaan sekaligus wilayah yang membawahi rakyat. Dengan demikian harapan yang muncul adalah masyarakat bisa taat pada hukum Islam karena sudah ada institusi legal yang bisa menuntut sangsi bila hukum tersebut tidak dijalankan. Yang perlu digaris bawahi adalah bagi Islam tujuan bernegara adalah menegakkan keadilan dalam kehidupan bersama, keadilan sosial. Oleh sebab itu, bagi Islam Negara adalah instrument bagi segenap warganya untuk merealisasikan cita-cita keadilan social.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagimana mengartikulasikan wujud cita-cita tersebut di tengah pluralnya masyarakat? Untuk menjawab apalagi mengartikulasikan tidaklah mudah, banyak kendala yang dihadapi di lapangan. Setidaknya ada dua kendala yang menjadi batu sandungan yakni kendala konsepsional dan kendala praktis. Kendala konsepsional adalah kendala bagaimana ajaran Islam yang normativ dapat dijabarkan menjadi separangkat aturan yang berfungsi untuk pelaksanaan di lapangan. Sedangkan kendala praktis yaitu kendala bagaimana implikasi praktis yang sangat mungkin timbul pada masyarakat yang plural.
Mohtar Mas’oed menuliskan bahwa setidaknya ada dua pendekatan sebagai upaya pengartikulasikan Islam dalam kehidupan masyarakat yaitu pertama, Islamisasi Negara nasional untuk kepentingan umat Islam dan kedua Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional. Yang dimaksud Islamisasi negara adalah upaya merealisasikan ajaran dalam Negara. Negara Indonesia di upayakan berdasarkan Islam. Pandangan ini muncul karena melihat kenyataan kuantitas umat Islam memang menjadi umat terbanyak dan sudah sewajarnya bila hukum Islam dijadikan sumber hukum Negara. Alasan logis karena yang akan merasakan adalah umat Islam. Toh, dalam hukum Islam juga ada hukum-hukum yang mengatur umat non-Islam yang disebut kaum zimmi. Keberadaan mereka tidak dikesampingkan begitu saja bahkan ajaran Islam menyuruh umatnya melindungi nyawa dan harta benda mereka.
Kritik bermunculan ketika cara ini akan ditempuh karena dinilai cara ini terlalu diskriminatif. Mereka mengatakan kemerdekaan Indonesia tidaklah semata-mata diraih umat Islam. Serta semenjak dahulu kepulauan nusantara tidak hanya dihuni oleh satu umat melainkan berbagai jenis umat, kepercayaan. Jadi kalau ada hukum agama yang dijadikan hukum konstitusional adalah mengingkari kenyataan bahwa negara ini memang plural. Selain itu mereka mencurigai umat Islam sebagai umat yang hegemonik dan egois kerena terlalu ambisius mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih jauh lagi, umat Islam akan dianggap ekstrim, karena menganggap atau merasa bahwa agamanya yang paling benar.
Memang jalur struktural atau Islamisasi Negara nasional sering kali mengalami benturan baik dengan penguasa maupun dengan pihak umat agama lain. Pendekatan lain untuk mengartikulasikan Islam adalah Islamisasi masyarakat dalam Negara nasional, yang dimaksud dengan pendekatan ini adalah penterjemahan politik Islam secara substansial, yakni ajaran-ajaran Islam diterjemahkan dalam bahasa- bahasa ekonomi, kemanusiaan, hak asasi manusia, pemberdayaan masyakat, dan lain-lain. Pendekatan ini memandang perjuangan Islam tidaklah sempit, yaitu terbatas pada arena politik dan parlemen, namun lebih luas dari itu, yaitu meliputi kebudayaan, pendidikan dan lain-lain. Bagi mereka yang menggunakan pendekatan ini yang penting adalah pesan-pesan pokok Islam dapat terwujud seperti semangat egalitarian, humanitas, demokrasi, keadilan sosial, dan lain-lain serta tidak mengedepankan wacana negara Islam.
Pendekatan model ini lebih disukai oleh tokoh-tokoh Islam dan penguasa. Selain itu, pendekatan ini lebih mengedepankan sikap saling mejaga keharmonisan antara umat beragama serta menjaga hubungan Islam dan penguasa yang selama ini selalu terjadi konflik diantara mereka. Pendekatan ini memang harus dipahami umat Islam sendiri bahwa pendekatan ini lebih menguntungkan bagi keberlangsungan Negara dan agama. Syarat ayang harus di miliki adalah bagimana memandang dan memperlakukan Islam sendiri. Apakah Islam dipandang secara tekstual atau memahami hakikat mengapa Islam itu diturunkan. Secara hakikat Islam turun sebagairahmatan lil ‘alamin, sebagai rahmat bagi alam. Tentu banyak jalan untuk membumikan pada tatanan kehidupan masyarakat sehingga terwujud masyarakat madani. Semua ini asalah tinggal umat Islam sendiri memandang Islam, sebatas kulit atau menyeluruh. Yang penting bagi umat Islam adalah mempunyai sikap “ojo rumongso biso nanging biso rumongso” atau menyebarkan Islam dengan “bil hikmah wa mauidlotul hasanah”. Perlu diperhatikan juga, siapa yang berani menjamin ketulusan, kesucian dan kesantunan manusia sesantun ajaran agamanya?


Deliar Noer. Gerakan Modern Islam Di Indonesia (Jakarta. LP3ES. 1982) hal. 1-3
ibid
Yang dimaksud jalur structural adaalah artikulasi politik melalui pendekatan kekuasan, tema-tema yang dikumandangkan adalah mendirikan Negara islam, penerapan syari’at islam dalam bernegara dan bermasyarakat.
Ahmad Syafi’I ma’arif. Sebuah kata penganar dalam buku “pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila (Yogyakarta: PADMA. 2003)
Taufiq Nugroho. Pasang Surut hubungan Islam dan Negara pancasila (Yogyakarta: PADMA. 2003)
Alat control itu berupa banyaknya jaringan intelijen seperti komkamtib, BAkin, BAIS dan Bakorstanas yane menurut pandangan Richard dan Manuel Kaiseipo, alat control itu telah menjadi suatu lembaga yang sangat besar dan ditakuti karena kekuasaannya yang nyaris tak terbatas serta melingkupi segala sapek kehidupan masyarakat.
Adhiyaksa Dault. Islam dan Nasionalisme. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005) hal. 96
Seperti yang dikatkan Muhammad Iqbal bahwa salah satu aspek dasar islam yaitu mengatur perilaku individu sekaligus maasyarakat.
Dari konsekuensi ini terinspirasi mewujudkan dunia islam. Yang dimaksud dengan dunia islam adalah sekumpulan orang mukmin yang memiliki tujuan mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera yang memperoleh ridha Allah yang di pandu oleh imam (pemimpin) yang terseleksi oleh jamaah islam yang semuanya tunduk dan patuh pada sunah sehingga semua parameter nilai, fiqroh, program dan kebijakan adalah al-quran dan sunah. Serial dakwah (Jakarta, dewan Dakwah. NO. 209, maret 1992) hal. 27
Mohtar Mas’oed, kata pengantar dalam Aminuddin. Kekuatan Islam dan pergulatan Kekuasaan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999) hal. XMembicarakan masalah hubungan agama dan Negara adalah sesuatu yang menarik, mengapa? Kita tahu agama dan Negara bagaikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi, tidak bisa dipertemukan. Bagaimanapun juga agama tetap memberikan irama terhadap kehidupan sosial bernegara karena agama merupakan ruh kedua bagi setiap masyarakat atau individu yang menggerakkan tata cara bergaul antar masyarakat lainnya . Sehingga, peranan agama sangat mustahil untuk dikesampingkan begitu saja dari kehidupan manusia.
Deliar Noer. Gerakan Modern Islam Di Indonesia (Jakarta. LP3ES. 1982) hal. 1-3
ibid
Masda F. Mas’udi. Islam dan Negara kebangsaan. http://members.tripod.com
Yang dimaksud jalur structural adaalah artikulasi politik melalui pendekatan kekuasan, tema-tema yang dikumandangkan adalah mendirikan Negara islam, penerapan syari’at islam dalam bernegara dan bermasyarakat.
Ahmad Syafi’I ma’arif. Sebuah kata penganar dalam buku “pasang Surut Hubungan Islam dan Negara Pancasila (Yogyakarta: PADMA. 2003)
Taufiq Nugroho. Pasang Surut hubungan Islam dan Negara pancasila (Yogyakarta: PADMA. 2003)
Alat control itu berupa banyaknya jaringan intelijen seperti komkamtib, BAkin, BAIS dan Bakorstanas yane menurut pandangan Richard dan Manuel Kaiseipo, alat control itu telah menjadi suatu lembaga yang sangat besar dan ditakuti karena kekuasaannya yang nyaris tak terbatas serta melingkupi segala sapek kehidupan masyarakat.
Adhiyaksa Dault. Islam dan Nasionalisme. (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2005) hal. 96
Seperti yang dikatkan Muhammad Iqbal bahwa salah satu aspek dasar islam yaitu mengatur perilaku individu sekaligus maasyarakat.
Dari konsekuensi ini terinspirasi mewujudkan dunia islam. Yang dimaksud dengan dunia islam adalah sekumpulan orang mukmin yang memiliki tujuan mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera yang memperoleh ridha Allah yang di pandu oleh imam (pemimpin) yang terseleksi oleh jamaah islam yang semuanya tunduk dan patuh pada sunah sehingga semua parameter nilai, fiqroh, program dan kebijakan adalah al-quran dan sunah. Serial dakwah (Jakarta, dewan Dakwah. NO. 209, maret 1992) hal. 27
Mohtar Mas’oed, kata pengantar dalam Aminuddin. Kekuatan Islam dan pergulatan Kekuasaan di Indonesia